Kamis, 03 April 2008

Royal Tea


Ketika mendengar tentang teh, mau tak mau imajinasi kita segera melayang ke sebuah pulau yang terapung sendiri di sisi Barat Benua Eropa. (kalau Anda sampai mengira kita bicara soal Islandia . . . ketahuilah bahwa pulau es dan api itu bukan kerajaan -red) Di kerajaan yang dikuasai oleh para bangsawan dengan status selebritis internasional itu, minum teh sudah menjadi sebuah tradisi religius selama ratusan tahun.

Jogja jelas tidak kalah dengan kerajaan yang pernah menjadi penguasa dunia ini. Nuansa kebangsawanan di Jogja tidak kalah kentalnya, karena meskipun kecil, Jogja punya dua dinasti bangsawan yang hidup berdampingan di kota yang sarat keajaiban ini. Dan wisata kuliner kali ini berlokasi di halaman rumah Keluarga Pakualam, sebuah istana cantik yang berlokasi di Jl. Sultan Agung.

Nama resmi kedai teh ini adalah Lesehan Ibu Warsuki, tapi karena lokasinya, orang-orang lebih mengenalnya sebagai Teh Poci Pakualaman. Tempat kongkow yang asyik ini berada di pelataran luas di depan istana Pakualaman, di bawah rerimbunan pohon-pohon beringin raksasa yang akar gantungnya menjuntai ke mana-mana. Warung teh Bu Warsuki buka mulai pukul lima sore hingga jam dua dini hari.

Saya mengunjungi Teh Poci Pakualaman kemarin malam. Warung sederhana bernuansa outdoor ini menjadi tempat peristirahatan terakhir yang menyenangkan setelah lelah berburu di daerah Bantul bersama seorang kawan SMA. Untuk menemani obrolan dan mereview hasil tangkapan hari ini, kami memesan teh poci dan berbagai penganan kecil.

Sambil menyeruput teh hangat, kami mengintip buruan lewat layar LCD mungil. Potongan-potongan langit biru, awan putih, dan mentari senja Jogja yang cantik membasuh pergi semua rasa lelah. Buat para tukang foto pasti sangat mengerti perasaan pasca berburu yang indah ini. Namun perhatian kami teralih karena datangnya penganan yang cukup mengejutkan, sate usus.

Siapa yang tidak kaget, karena sate usus ini sangat tidak biasa. Panjangnya mungkin dua kali lipat sate usus yang normal! Karena lebih panjang, jelas saja sate usus ini jadi lebih nikmat. Apalagi sambil ditemani jadah (ketan) bakar gurih dengan aroma gosong yang merangsang. Berbeda dari jadah lainnya, tempatini juga memberikan variasi pilihan jadah goreng manis, yang ternyata diberi tambahan maisjes di dalamnya. Tapi yang paling istimewa bagi kami adalah ceker bakarnya yang enaaaaaaaak banget.

Mungkin bagi sebagian orang makan kaki ayam haram hukumnya, tapi sadarilah wahai orang-orang yang takut ceker, kalian termasuk kaum yang merugi! Ceker ayam Bu Warsuki ini benar-benar hidangan kelas satu. Setelah puas menghabisi kulit dan urat achillesnya yang empuk dan gurih, kenikmatan berikutnya adalah menggerogoti tulang-tulang ceker yang mungil. Benar-benar enak, karena bumbunya yang manis meresap sampai ke sumsum tulang! Sensasional sekali.

Akhirnya kami meninggalkan istana dengan menyisakan jejak serpih-serpih tulang yang tidak bisa dimakan. Sambil memandang bulan separo yang mengambang cemerlang di antara gerombolan awan ikan-ikan kecil© (istilah teman saya), cuma satu yang ada di pikiran saya, "Jogja memang tempat paling cantik di dunia".


Blandongan, Megawarkop Night Park Paling Laris di Jogja


Kalau di edisi kemarin kita sudah membahas sebuah tempat makan yang tergolong kelas atas, pada episode kali ini kita terjun bebas ke sebuah tempat minum kopi yang sangat terkenal di kalangan mahasiswa Jogja karena warkop (warung kopi) yang satu ini sangat piawai menerapkan filosofi murah meriah dalam memuaskan para penggemarnya.

Namanya terdengar cukup aneh, Blandongan. Lokasinya berada di dekat palang pintu KA Gowok. Tempat nongkrong yang satu ini benar-benar pantas menyandang gelar megawarkop karena arealnya sangat luas. Blandongan menyediakan banyak sekali meja dan kursi kayu panjang yang sederhana dan beberapa tempat lesehan untuk mengakomodasi serbuan anak-anak nongkrong Jogja.

Meskipun layak disebut kafe karena memang berjualan kopi, Blandongan tidak bersolek cantik seperti kafe-kafe lainnya. Areal duduk yang sangat luas itu berada di bawah naungan bangunan bambu serba terbuka beratapkan seng. Sampah kulit kacang berserakan di lantai tanah bawah meja. Kesan pertama yang muncul ketika melihat penampakan Blandongan adalah: "Ya ampun . . . joroknya!".

Tempat ini segera mengingatkan saya pada markas tercinta waktu zaman aktif kuliah dulu. Meskipun Blandongan tidak sekumuh dan sejorok kos-kosan di Jl. Kamboja no.17 itu (yang sekarang sudah digusur . . . sedihnya), atmosfernya yang penuh persahabatan membuat saya kangen pada hari-hari liar yang pernah dilewatkan di sana. Nampaknya faktor 'kumuh namun bersahabat' inilah yang menjadi andalan Blandongan dan membuatnya menjadi tempat nongkrong favorit, terutama bagi banyak cowok. (boys are dirty by nature . . . aren't we?)

Malam ketika saya datang ke sana, gerombolan pria berbagai rupa dan kelakuan nampak memadati kursi-kursi di Blandongan. Bahkan di antara lautan mahasiswa itu nampak beberapa pasangan yang sedang kencan! Benar-benar cewek yang penuh pengertian. Ketika Anda memutuskan untuk ke Blandongan, ikuti petunjuk saya berikut ini supaya tidak kelihatan seperti new kids on the block.

Kalau datang rame-rame, bagi kelompok menjadi dua. Kelompok pertama segera mengamankan lokasi sementara kelompok kedua (satu orang saja cukup) meluncur ke dapur untuk memesan, jangan lupa tanyakan teman-teman Anda mau minum apa. Dapurnya adalah sebuah gubuk bambu di bagian belakang komplek dengan lampu hijau nempel di dindingnya. Ruangan yang super sempit ini (makanya nggak usah rame-rame) berisi berbagai macam jajanan pasar dan aneka rupa snack teman ngobrol, bahkan ada nasi bungkus ala angkringan.

Ambil jajanan secukupnya dan bayar di kasir. Sambil bayar, Anda bisa sekalian pesan aneka minuman yang diinginkan. Blandongan menawarkan banyak sekali racikan kopi dan susu dengan harga super ekonomis. Untuk snack, kopi susu dan es kopi susu (seperti yang terlihat di foto), saya cuma bayar Rp 5.500! Teman saya sampai khawatir kalau si kasir sudah salah hitung saking murahnya. Setelah itu, sambil membawa snacknya, cari tempat duduk dan tunggu saja minumannya datang, biasanya tidak terlalu lama.

Meskipun disajikan dengan cangkir keramik berhias bunga-bunga, tampilan cantik jelas bukan keahlian Blandongan. Kopi susunya berceceran berantakan di gelas dan tatakan. Saya yang pesan es kopi susu melakukan kesalahan fatal dengan mengaduk minuman berwarna gelap di gelas itu. Ternyata kopinya kopi tubruk! Karena diaduk, ampas kopinya naik semua dan semakin manghitamkan cairan yang nampaknya memang kopi susu. Rasanya tentu saja tak keruan. Kopi susu hangatnya sangat manis sehingga rasa asli kopi sudah tak terlacak lagi.

Bagi Anda pecinta espresso, tentu tidak akan bisa menemukan sensasinya di dalam gelas kopi tubruk. Namun sepertinya rasa memang bukanlah senjata utama Blandongan. Tempat ini lebih menawarkan lokasi asyik buat ngobrol apa saja tanpa perlu repot menjaga image. Kondisi warung yang sudah lumayan jorok membuat kita (cowok-cowok yang jorok) nyaman untuk berbuat berbagai kejorokan lainnya. Aneh memang, dan jelas tidak untuk semua kalangan. Berani mencoba? (ang)

Menurut legenda, Blandongan berawal dari bisnis kecil-kecilan sang owner yang pada awalnya hanya membuatkan kopi untuk teman-teman kosnya. Melihat skala Blandongan saat ini, saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Jogja memang ajaib!

Ayam Goreng Ninit, Masihkah Seperti Dulu?


Ini dia tempat makan favorit di Jogja yang punya sejarah timbul tenggelam cukup dramatis. Satu dekade yang lalu ketika saya masih berseragam putih abu-abu, ketika apa-apa masih murah (nasi + ayam + gorengan di warung cuma SERIBU!), Ayam Goreng Ninit ini melegenda sebagai tempat di mana kita bisa memaksimalkan potensi lambung dan perangkat pencernaan sampai sepol-polnya . . . karena di Ninit (jaman itu) nasi datang secara free flow, bahkan untuk kaum dengan lambung yang seolah tanpa dasar! Saat ini memang ada beberapa tempat makan dengan strategi seperti itu, tapi di masa Orde Baru dulu, Ninitlah pionirnya.

Pada era keemasannya, ruang makan Ninit yang lumayan luas selalu dipenuhi pengunjung, jarang sekali kelihatan sepi. Kemudian beberapa tahun lalu (3? 4? saya lupa) Ninit pindah markas. Anehnya, sebagai tempat makan yang terbilang sangat populer, Ninit malah pindah ke tempat yang lebih kecil. Sejak saat itu mulai beredar rumor kalau Ninit sudah tidak seenak dulu lagi. Saya sempat mencoba makan di Ninit versi cast-off ini dan memang rasanya agak kurang sreg. Maka dimulailah masa-masa 'please-wait-while-the-computer-is-shutting-down' pada tempat makan yang sebenarnya sudah melekat di hati orang-orang Jogja ini.

Kemudian saya sudah tak tahu lagi gimana kabarnya, hingga tiga minggu yang lalu seorang teman bilang kalau Ninit sudah buka lagi . . . kalimat yang mengindikasikan kalau memang tempat ini (mungkin) sempat shut down beneran. Markas baru Ninit berada di Jl. C. Simanjuntak - Terban, beberapa ratus meter dari rumah makannya yang lama.

Dengan perasaan harap-harap cemas, saya datang ke Ayam Goreng Ninit yang baru bersama seorang teman kost untuk makan malam. Lokasi barunya ini lumayan luas, dengan meja makan besar-besar yang pasti bisa menampung banyak orang. Sedikit lebih luas malah dari tempat lamanya saat golden era. Malam itu pengunjung cukup ramai. Kami memesan ayam goreng di counter bersama sebakul kecil nasi untuk dibawa ke meja makan.

Perbedaan jelas ada. Sekarang, sepotong ayam goreng dibandrol Rp 5 ribu. Lebih mahal dari sebelumnya, tentu saja. Dan ukurannya juga menyusut dengan signifikan. Ninit juga menyediakan menu non ayam yang lumayan banyak, dan ada juga tempe goreng tepung yang nyam-nyam sekali. Ninit bahkan menyediakan berbagai macam sambal untuk menemani ayamnya. Tapi sebagai seorang die hard fans, saya tetap setia dengan sambal a la Ninit yang disediakan gratis di setiap meja.

Berbeda dengan ayam goreng kremes a la Kalasan, keistimewaan ayam goreng Ninit terletak pada ayamnya yang dipresto, sehingga bisa dimakan secara efisien hingga ke tulang-tulang (kecuali tulang utama yang masih agak keras). Rasanya gurih dan digoreng garing. Jodoh utamanya cukup nasi dan sambal khas Ninit, dijamin puas! Untuk peringatan, sambal signature Ninit ini mungkin lebih cocok disebut kuah saking encernya. Rasanya perpaduan antara gurih dan sedikit asam tanpa rasa pedas yang berarti . . . tapi entah mengapa membuat ketagihan.

Ninit dan keistimewaannya rupanya memberikan kesan yang mendalam bagi pelanggannya. Termasuk Ayah saya, yang ternyata adalah seorang simpatisan fanatik Ninit. Sebagai gambaran, sejak isu flu burung merebak bertahun-tahun lalu, ayah saya puasa ayam (bahkan di rumah!) dan baru buka puasa bulan lal, di Ninit!

Terakhir saya menyambangi Ninit minggu lalu bersama . . . siapa lagi kalo bukan TTM (Teman Tukang Makan) setia saya Bu Pemred. Menurut Beliau, Ayam Goreng Ninit yang sekarang ini tulangnya tidak seempuk dulu. Tapi itu bukan halangan, karena kami berdua dengan lancar menghabiskan dua bakul nasi . . . dan Bu Pemred cukup memberi kontribusi lho! Suatu tindakan yang cukup beresiko, karena Bu Pemred sekarang sudah terjun ke dunia fashion! Nggak papa tuh Bu? (ang)

Mbah Mo, Ikon Mie Jawa Jogja dari Bantul


Nama Mbah Mo memang telah menjadi salah satu ikon kuliner bakmi Jawa di Jogja. Kami dari kru trulyjogja.com pun telah lama mendengar tentangnya, walau baru akhir-akhir ini saja baru sempat menyambanginya.

Bersama dua tamu dari Bandung, kami pun menyeberangi kota Jogja, menuju kawasan Code, Bantul. Cukup jauh dari kota, tapi layak ditempuh.

Hasrat untuk makan di warung makan Mbah Mo memang harus disertai dengan niat yang kuat. Selain masalah letak, banyaknya penggemar membuat antrian yang terjadi kadang sulit dipercaya.

"Saya pernah datang jam 8 malam dan harus menunggu antrian selama dua jam," cerita Nur, salah satu penggemar bakmi Mbah Mo.

Antrian yang panjang memang bukan hal yang aneh. Karena di warung Mbah Mo ini, pesanan yang masuk dimasak satu per satu, di atas tungku arang. Saran saya, datanglah pada sore hari saat baru saja dibuka, sekitar jam 5, atau justru datang setelah jam makan malam, saat pengunjung mulai menurun. Tapi resikonya, bisa-bisa Anda sudah kehabisan.

Bakmi Jawa Mbah Mo bukanlah tipe bakmi yang 'njemek'. Tekstur bakminya kecil dan kenyal. Namun yang istimewa adalah rasa gurihnya. Campuran telur bebek dan kaldu dari ayam kampung memang memberikan sentuhan citarasa tersendiri. Belum lagi pilihan daging, balungan, atau rempela yang bisa jadi 'lauk'-nya. Yang terakumulasi dalam kata 'huenaaak!'.

Selain bakminya, di warung ini saya juga punya minuman favorit. Jeruk jahe hangat. Karena warung Mbah Mo tidak menyediakan minuman dingin. Tapi minuman hangat justru baik untuk kesehatan, bukan? Apalagi setelah makan makanan yang berlemak.

Walau awalnya terdengar aneh, minuman jeruk jahe ini rupanya justru enak. Rasanya unik. Ada kecut, manis, hangat, dan segar. Wow! Selain itu, tentu saja masih ada minuman lain seperti teh jahe, jahe, teh, atau jeruk. Yang kesemuanya hangat.

Untuk mencapai warung ini dibutuhkan informasi yang lengkap dan ketelitian. Karena petunjuk-petunjuk yang ada kadang terlewat begitu saja. Yang jelas, dari perempatan Manding, belok ke kanan. Ikuti saja jalan tersebut sampai terlihat petunjuk jalan berikutnya. Atau, bisa pula bertanya pada orang sekitar. (ind)

*Awalnya, kami juga harus bertanya-tanya sebelum akhirnya menemukan warung terpencil tersebut.

Gudeg Geneng Mbah Marto, Persembunyian Mangut Lele


Setelah terbengkalai selama berminggu-minggu, akhirnya ajakan untuk mencicipi mangut lele di suatu rumah di pelosok Desa Sewon, Bantul pun terlaksana. Warungnya yang sederhana dan berdinding biru tersembunyi di antara perumahan di belakang kampus ISI. Agak sulit dicari, namun patut diperjuangkan.

Papan namanya sedikit menyesatkan, karena tertulis "Sego Gudeng Nggeneng" Mbah Marto. Kok malah ke warung gudeg?

"Dia juga memang jual gudeg, tapi mangut lelenya enak," ucap temanku memberitahu.

Ya memang, di warung berbentuk rumah ini, tak hanya gudeg yang ditawarkan. Mangut lelenya juga menjadi primadona.

Tidak seperti mangut biasanya, sebelum dimasak bersama kuah santan gurih dan pedas (yang visualnya mirip gulai), lele terlebih dahulu dibakar di atas tungku kayu bakar. Tak heran ketika mencicipi lelenya, terasa sensasi 'asap' khas masakan tungku.

Lezat. Khas aroma pedesaan. Ini lah sepertinya yang diunggulkan oleh mangut lele Mbah Marto. Karena matang di pembakaran, rasa gurih daging lele masih terasa jelas. Berbeda dengan mangut lain yang biasanya daging ikannya telah dikuasai rasa mangut itu sendiri.

Kuah mangutnya mirip dengan kuah mangut lain. Gurih, manis, dan pedas. Namun kuah mangutnya yang gurih dan pedas tadi makin terasa sempurna didampingi nasi putih hangat yang masih mengepul asapnya. Wah.. nikmat!

Hanya dengan uang sekitar Rp 10.000,-, aku sudah bisa menikmati mangut lele yang lezat dengan beberapa hidangan sampingan.

Selain lele, di dapur rumah ini tersaji berbagai jenis lau-pauk lainnya. Ada ceker, gudeg setengah kering, sambal krecek, hingga sate keong. Semua terhidang di sebuah lincak di dapur. Pengunjung pun bebas memilih sendiri lauk-pauk dan porsinya.

Letaknya yang berada di tengah perkampungan membuatku agak bingung ketika harus memberikan ancer-ancer menuju Sego Gudeg Nggeneng. Yang jelas letaknya tak jauh dari kampus ISI. Jadi bila bingung, bisa bertanya setelah sampai di kampus ISI. Selamat mencari. (ind)

Petualangan Kuliner Jamur di Jejamuran


Setelah beberapa hari dipenuhi dengan menu berdaging-daging, kemarin siang saya memutuskan untuk jadi vegetarian. Tapi hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Waktu-waktu khusus seperti kemarin.

Sebenarnya bukan waktunya yang sangat khusus yang menyebabkan saya rela menjadi vegetarian sesaat. Tempatnya-lah yang amat mendukung seseorang untuk menjadi vegetarian. Menu-menunya spesial.

Sambil merayakan farawell party kecil-kecilan, saya bersama seorang kawan yang berencana pindah ke luar kota, sengaja mampir di sebuah rumah makan di daerah Beran. Dia berjanji menunjukkan rumah makan patut dicoba di pinggiran daerah Sleman. Tepatnya Niron, Pandowoharjo, Sleman, Jogja. Namanya Jejamuran.

Dari namanya saja, bisa ditebak bahwa rumah makan ini menyajikan menu-menu yang berbahan dasar jamur. Hm... kebetulan sekali, saya termasuk penggemar jamur. Menu yang ditawarkan beraneka ragam. Setelah bingung memilih-milih, akhirnya dengan rakus kami memesan pepes jamur, tongseng jamur, sate jamur, dan jamur goreng tepung. Tak lupa sebungkus keripik jamur. Padahal kami hanya berdua.

Awalnya saya ketakutan tak akan bisa menghabiskan jamur-jamur ini, tapi rupanya rasanya lezat. Benar-benar eman untuk disisakan.

Petualangan jamur-jamur ini kami awali dengan pepes jamur a la Sunda. Tak terlalu gurih, tapi kenyalnya telur cukup terasa. Pas. Pepes ini menggunakan jamur tiram yang bentuknya mirip dengan daging ayam suwir. Jamur goreng tepung, yang juga menggunakan jamur tiram, tak kalah enak. Renyah dan gurih.

Temanku menyarankan sate jamur. Bumbu kacang membuat sate ini beraroma mirip sate ayam. Hanya saja, bila diperhatikan, tak ada rasa ayam. Yang ada hanyalah kenyalnya jamur tiram.

Menu terakhir saya adalah tongseng jamur. Amat cocok dengan suasana sore itu yang mendung dan gerimis. Belum lagi udara yang dingin. Tongseng jamur disajikan hangat-hangat dengan asap masih mengepul. Kuahnya merah dan isinya mirip dengan tongseng biasanya. Namun, di tongseng ini tak dapat ditemukan daging. Yang ada, selain sayur-mayur tongseng, justru jamur-jamur merang. Pedas dan manis.

Selain menu-menu rakus kami, sebenarnya masih ada beberapa menu lain yang kesemuanya menggunakan bahan dasar jamur. Seperti gudeg jamur dan dadar jamur yang menggunakan jamur Shitake. Sebenarnya kami ingin mencoba semua menu itu, tapi perut juga memiliki keterbatasan

Menu-menu yag unik dan menarik. Menu yang bisa membujuk orang untuk mampir dan mencoba. Harganya pun tidak mahal. Untuk satu porsi normal (tidak seperti kami), harganya sedikit bervariasi, sekitar Rp 5.000,- - Rp 10.000,-. Rumah makan ini buka dari jam 7 pagi hingga sekitar jam 6 sore.

Keluar dari Jejamuran, berakhir pula lah hari vegetarian saya. Kenyang! (ind)